Menjemput Semengat Padi ke Sungai
Semengat Padi (Roh Padi) dijemput ke sungai setelah ia melakukan perjalanan dari Pulau Jawa. Ritual ini dilakukan ketika subuh.
Menjalankan basa pekejea
Adat ini dilakukan ketika pesta panen padi (gawai). Pekejea dibawa dari rumah-kerumah penduduk untuk diisi dengan tuak/uang/sirih. Di dalam pekejea diletakkan mangkuk yang berisi tuak yang harus diminum oleh tuan rumah yang didatangi.
Gadis Suku Desa
Setiap perayaan adat seperti pengambilan roh padi terdapat beberapa wanita yang berpakaian adat untuk mengiringi perayaan
Saturday, 10 May 2014
21:00
sario
Prof. James T. Collins
Sudah lama diketahui bahwa Pulau Kalimantan luar
biasa kaya dengan berbagai jenis flora dan fauna. Lihat saja tulisan Alfred
Wallace (1869), perintis evolusi yang pernah berkunjung di Sarawak dan meneliti
biogeografinya pada awal abad kesembilan belas, maupun tulisan modern tentang
keberagaman botani dan zoologi di Pulau Kalimantan, seperti yang dikumpulkan dalam
buku MacKinnon dkk (1996). Namun, hanya pada awal abad ke-21 ini disadari dan dibuktikan
bahwa diversitas biologis di Kalimantan sejajar dengan diversitas bahasa yang
cukup tinggi juga di Kalimantan.
Artinya, selain warisan ekologi di Pulau Kalimantan, harus
diperhitungkan warisan bahasa dan budayanya. Memang pada tahun 1999, Daniel
Nettle menegaskan bahwa di pelosok dunia yang memperlihatkan diversitas
biologis yang tertinggi justru di situ juga terdapat diversitas bahasa yang
tertinggi. Maka, seharusnya penelitian tentang keberagaman ekologi dan
lingkungan serta kelestarian tumbuhan harus ditambahkan dengan penelitian
tentang diversitas bahasa dan dialek serta kelestarian bahasa dan tradisi
sastra lisan.
Sayangnya,
di Indonesia, walaupun penelitian ekologi dan biologi berjalan secara intensif
dengan dana yang mencukupi, namun penelitian bahasa daerah dan dialek lokal
belum menerima dukungan yang wajar dan perhatian yang mendalam. Jadi, bukan
saja penelitian ekologi dan penelitian linguistik tidak dijalankan bersamaan
dan beriringan, tapi penelitian linguistik dan sastra lisan malah terpisah dan
jauh ketinggalan. Buktinya, MacKinnon dkk (1996) dapat menerbitkan sebuah buku
tebal tentang aspek lingkungan dan ekologi Pulau Kalimantan, tetapi belum ada
buku yang setaraf dan seluas dengannya tentang bahasa di Pulau Kalimantan.
Sukur,
seorang putra Pulau Kalimantan sanggup berhadapan dengan masalah ini. Atas
inisiatifnya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah maupun dari yayasan swasta
atau badan asing, Dr. Herpanus melancarkan suatu proyek penelitian yang
menggabungkan ilmu botani dengan ilmu linguistik dan ilmu budaya untuk membangun
asas etnobotani dan etnolinguistik di Kalimantan Barat. Bukunya "Bahasa
dan Etnobotani Suku Desa: Tantangan perubahan ekologi", melaporkan hasil penelitiannya
di tengah komunitas Suku Desa, salah satu suku Dayak di Kalimantan Barat.
Dengan memanfaatkan berbagai metode termasuk klasifikasi tumbuhan, partisipasi
dan observasi etnografis serta statistik dan uji statistik, beliau menghasilkan
gambaran yang kompleks tentang situasi etnolinguistik di pedalaman Kalimantan
Barat.
Studi
ini mendeskripsikan pengetahuan tentang tumbuhan di kalangan Suku Desa, salah
satu suku Dayak yang terbesar di provinsi Kalimantan Barat dengan penutur yang
diperkirakan sekitar 40.000 orang. Data diperoleh penulis melalui observasi dan
wawancara di sebuah kampung, Kampung Pagal I, dengan jumlah penduduk 221 orang
sebagai sampel utama. Bidang pengetahuan tumbuhan yang diteliti ini juga
dibatasi kepada 20 jenis tumbuhan famili Arecaceae. Dengan membatasi studinya, baik dari segi
sampel komunitas maupun tipe tumbuhan, Dr. Herpanus berhasil menampilkan
analisis yang mendalam tentang hubungan perubahan ekologi dengan pengetahuan
tradisional dan penggunaan bahasa.
Ternyata
di kampung Pagal I tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara
penduduk pria dan wanita dalam hal pengetahuan tentang tumbuhan famili Arecaceae,
baik dari segi penamaan maupun penggunaan 20 jenis Arecaceae yang
disoroti. Kenyataan ini mengherankan
karena biasanya memang ada perbedaan pengetahuan yang menonjol antara petani
pria dan wanita, memandangkan kerja yang mereka lakukan berbeda. Dengan pengertian
yang tepat, Dr. Herpanus menununjukkan bahwa pada waktu ini di Kampung Pagal I
kerja dan tugas di ladang padi (huma) sudah merata sesama semua petani. Tugas
yang dulunya dibagi-bagikan sesuai gender sekarang diusahakan bersama. Kalau
dulu kaum pria yang bertanggungjawab membuka hutan primer dengan menebang dan
menebas pohon di rimba serta membakarnya, sekarang sudah tidak ada hutan primer
lagi yang harus dibuka. Masuknya transmigran di wilayah tradisional Suku Desa
di Pagal I dan kemudian pembukaan perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan
hilangnya hutan primer dan juga hutan sekunder yang tua; kawasan tempat siklus
ladang diserahkan kepada perusahaan kelapa sawit.Jadi pembagian tugas secara
adat berdasarkan gender, seperti yang dilaporkandi Kalimantan oleh sarjana
15-25 tahun lalu (Lahajir 2001, Dove 1988), sudah tidak berlaku lagi di Pagal I
karena menebas semak belukar (bukan hutan rimba) dapat diusahakan oleh pria dan
juga wanita sehingga kesempatan mereka melihat dan mengenal tumbuhan sudah
menjadi sama.
Perubahan
dalam praktek perladangan padi tidak hanya berdampak pada penamaan tumbuhan
tetapi juga pada frekwensi penyelenggaraan adat tradisional yang berkaitan
dengan perladangan. Perubahan sosial lain juga mempengaruhi pengetahuan tradisional.
Misalnya, menurut hasil penelitan ini, terdapat perbedaan pengetahuan
berdasarkan umur, dan perbedaan itu dibuktikan secara statistik. Menurut Dr.
Herpanus, dengan adanya akses kepada pendidikan (rata-rata di lokasi yang jauh
dari kampung sendiri) generasi muda sudah jarang terlibat dalam kerja
perladangan padi, apalagi adat yang berhubungan dengan perladangan.
Ilmu
dan wawasan ekologis yang diperoleh oleh Suku Desa turun-temurun selama ratusan
tahun sekarang terancam hilang. Begitu juga, semakin lama semakin sedikit
pengetahuan tentang kosa kata tumbuhan maupun ritual yang menggunakan tumbuhan
tersebut. Malah, diramalkan dalam studi ini bahwa perubahan lingkungan alam di
Kalimantan akan mengakibatkan merosotnya jumlah penutur Bahasa Desa, dan juga
berkurangnya kosa kata yang berkaitan dengan ritual dan sastra lisan. Buku ini
menunjukkan bahwa perubahan ekologi membawa perubahan pada bahasa dan budaya. Kasus
Pagal I ini bukan kasus yang jarang terjadi di Nusantara. Di seluruh Indonesia,
urbanisasi, migrasi dan transmigrasi berjalan dengan cepat dan mengakibatkan
perubahan yang mendasar dalam komunikasi dan kesempatan mengakses media
elektronik sampai warga mulai meninggalkan bahasa dan dialek lokal mereka. Buku ini berhasil membukitkan ikatan antara
ekologi biologis dengan ekologi linguistik. Mudah-mudahan banyak lagi sarjana
Kalimantan menghadapi kompleksitas ini dan mendokumentasikan perubahan yang
sedang terjadi.
Subscribe to:
Posts (Atom)