Menjemput Semengat Padi ke Sungai
Semengat Padi (Roh Padi) dijemput ke sungai setelah ia melakukan perjalanan dari Pulau Jawa. Ritual ini dilakukan ketika subuh.
Menjalankan basa pekejea
Adat ini dilakukan ketika pesta panen padi (gawai). Pekejea dibawa dari rumah-kerumah penduduk untuk diisi dengan tuak/uang/sirih. Di dalam pekejea diletakkan mangkuk yang berisi tuak yang harus diminum oleh tuan rumah yang didatangi.
Gadis Suku Desa
Setiap perayaan adat seperti pengambilan roh padi terdapat beberapa wanita yang berpakaian adat untuk mengiringi perayaan
Thursday, 28 August 2014
02:43
sario
Tidak ada sekolah formal dalam masyarakat dayak untuk mewariskan pengetahuan tradisonalnya kepada generasi yang lebih muda. Bahkan pendidikan formal yang ada merupakan penyebab hilangnya pengetahuan tradisional. Pewarisan itu terjadi dalam aktiviti sehari-hari, baik ketika kehutan, berburu, berladang, menghibur anak dengan dongeng, dalam ritual dan sebagainya. Itu bermakna, ketika ada salah satu aktiviti budaya yang jarang atau sudah tidak dilakukan lagi berarti terputuslah jalur pewarisan pengetahuan tradisional tersebut.
Perubahan budaya masyarakat kerana pemodenan cara hidup adalah salah satu penyebab ditinggalkannya banyak budaya tradisional. Bahkan pengamalan beberapa aktiviti budaya tradisi dianggap kuno dan primitif . Di zaman yang serba digital sekarang, baik dari permaian, hiburan, mengurangkan minat generasi muda terhadap pengetahuan dan budaya tradisional. Unsur teknologi berkait erat dengan peralihan bahasa. Sejak dilancarkannya Intelsat III dalam orbitnya di atas Samudera India, terbukalah jalur komunikasi dunia yang tidak tersekat oleh apapun. Namun hanya bahasa tertentu yang dapat digunakan untuk mengoperasikan teknologi baru ini. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan beberapa bahasa menjadi kuat, kerana ianya ikut serta dalam perkembangan teknologi. Hal ini menjadi sebab langsung mahupun tidak langsung yang menjadi penyebab pertukaran bahasa. Pandangan ibu bapa juga mulai bergeser. Dengan menguasai bahasa tersebut, anak-anak mereka dapat memperoleh berbagai-bagai kelebihan dibandingkan dengan menjadi penutur bahasa asli.
Fenomena seperti di atas juga terjadi di Kalimantan. Bahasa yang mempunyai status lebih tinggi dan dituturkan oleh lebih banyak orang, akan lebih banyak diminati. Apalagi oleh generasi muda yang banyak berminat terhadap teknologi. Mereka menjadi kehilangan banyak kosakata dan kurang memahami lagi kearifan lokal tempatan. Terlebih pada masa sekarang ini penguasaan bahasa internasional semakin diminati. Kerana penguasaan bahasa ini akan memberikan akses untuk memasuki dunia yang lebih besar dan menawarkan berbagai-bagai kesempatan yang terbuka luas. Hal ini jelas memberi kesan tentang pewarisan budaya. Kerana sebagaian besar budaya di kod-kod kan dalam bahasa pembawanya. Bersamaan dangan bahasa, banyak pengetahuan budaya dan kebijakan lokal, cara hidup dan pandangan dari penutur dalam keadaan terancam. meski tidak semua pengetahuan mungkin di kodekan secara linguistik, bahasa merupakan alat utama manusia dalam menghuraikan, memelihara, mengembangkan dan mewariskan pengetahuan.
Kekurangan golongan yang menguasai pelbagai pengetahuan makin berkurang. Apatah lagi pengamalan budaya tradisional tidak diamalkan lagi, sehingga pewarisan budaya mengalami masalah. Ini berarti meninggalnya orang yg memiliki kepakaran tentang budaya tersebut merupakan kerugian yang besar .
Adanya hiburan yang berbentuk digital, membuat anak dan ibu tidak mewariskan dongeng-dongeng lagi. Ketika mencabut rumput pun bahan cerita ibu-ibu pun cerita tentang kisah cereka rama di televisyen. Anak dari kecil umur 6 tahun sudah di sekolah, jika sampai kuliah, 22 tahun itu tidak dekat dgn persekitarannya. Ini jelas menjejaskan pewarisan pengetahuan. Ditambah lagi faktor persekitaran sebagai tempat penyokong banyak pengetahuan tradisional sudah rusak.
Hutan merupakan tempat mewariskan ilmu pengetahuan tradisional. Hutan berfungsi sebagai objek dan tempat belajar untuk mewariskan ilmu-ilmu tradisional dari orang tua kepada anaknya. Di hutan orang tua mengajar anak-anaknya tentang tumbuh-tumbuhan yang boleh dimakan, ubat-ubatan, tumbuhan beracun, bagaimana mengenali ciri-ciri, mengenali nama dan bagaimana memanfaatkannya untuk mendapatkan nafkah sehari-hari .
Belajar di dalam hutan melalui kebiasaan yang bermula dengan ikut- ikutan masuk ke hutan dari sejak kecil, mereka secara tidak sengaja mendapatkan pengalaman dan pelajaran dari orang tuanya untuk mengenal hutan, cara menyelamatkan diri, dan pelbagai cara hidup di dalam hutan. Pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun itu merupakan pendidikan informal yang sangat berharga bagi orang Dayak maupun masyarakat luas apabila dikaji dan dikembangkan lebih lanjut. Sebagai contoh dalam mengenal tanaman ubat dan racun, manfaatnya untuk jenis penyakit apa, bagaimana cara pengolahannya, dan sebagainya. pengetahuan ini juga penting bagi masyarakat luas .
Wednesday, 20 August 2014
20:40
sario
Rumah panjang merupakan salah satu
ciri atau identitas utama masyarakat dayak pada umumnya . Masyarakat
dayak Desa dulunya juga tinggal di rumah-rumah panjang. Namun sekarang
rumah panjang bagi masyarakat dayak Desa tidak lebih dari sekedar simbol
budaya. Satu-satunya kampung masyarakat dayak Desa yang masih bertahan
di rumah panjang hanya kampung Ensait Panjang. Itu pun kerana dijadikan
kawasan wisata dan budaya oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang . Hal
itu juga berlaku di Kabupaten Pontianak, satu-satunya rumah panjang
yang masih ada terdapat di Sahapm, itu juga dipertahankan pemerintah
untuk kepentingan pariwisata. Sedangkan di Kabupaten Sambas dan Sanggau
tidak dijumpai lagi .Beberapa rumah panjang masih terdapat di kawasan
yang relatif terpencil di Kabupaten Kapuas Hulu.
Hilangnya rumah panjang tidak terlepas dari program pembangunan yang
dilakukan oleh pemerintah. Misalnya program regrouping bagi desa-desa
terisolasi yang dihuni masyarakat dayak, melalui projek resettlement
desa dan resettlement penduduk. Bahkan budaya masyarakat dayak di
pedalaman, terutamanya rumah panjang didakwa turut menghambat program
penataan desa . Kedatangan masyarakat transmigran dari Pulau Jawa pada
tahun 1980-an memberikan impak yang besar terhadap hilangnya rumah
panjang bagi masyarakat dayak Desa di Kabupaten Sintang. Sebelum
kedatangan orang transmigran dari pulau jawa, masyarakat dayak Desa
umumnya tinggal di rumah-rumah panjang yang tersebar di kampung-kampung.
Sebahagian kampung dayak Desa terbabit dalam program transmigrasi,
sehingga mendapatkan jatah rumah sama dengan masyarakat transmigran.
Kampung yang tidak terbabit pun lama-kelamaan mengikuti pola rumah
tunggal dan meninggalkan sistem rumah panjang. Ditinggalkannya sistem
rumah panjang dilakukan dengan pelbagai alasan, antaranya terbabit dalam
program transmigrasi, membina rumah dekat dengan fasiliti negara
seperti seperti jalan, klinik kesihatan dan sekolah.
Pemindahan penduduk di atas memiliki kesan sosial dan ekologi .
Pihak-pihak yang menentang atas asas persekitaran, menganggap program
transmigrasi penyebab utama kerosakan hutan. Kebanyakan transmigran
adalah orang-orang jawa, yang mungkin beranggapan bahawa hutan adalah
sumber hantu dan binatang-binatang penggangu dan amat senang melihat
hutan ditebang, meskipun semak belukar dapat menampung lebih banyak babi
hutan dan tikus daripada keadaan hutan alami sebelumnya
Gaya hidup dirumah panjang memungkinkan tumbuhnya semangat kebersamaan
dan perpaduan serta memungkinkan transfer pengetahuan secara automatik
dari generasi tua ke generasi muda. Ketiga orang dayak masih tinggal
dirumah panjang, setiap kejadian penting dalam kehidupan seperti
kelahiran, perkahwinan, atau kematian, secara automatik dipikul
bersama-sama sebagai sebuah keluarga besar. Ketika salah satu anggota
keluarga rumah panjang berhasil menangkap binatang buruan, dagingnya
akan diagih-agihkan dengan seluruh anggota rumah panjang yang lain.
Kesan perubahan gaya hidup dari rumah panjang ke rumah tunggal terlihat
dengan jelas. Nilai kekerabatan, gotong-royong, hukum adat dan sistem
kemsyarakatan yang tumbuh dan berkembang dari interaksi kehidupan rumah
panjang kini tidak lagi terjaga. Kehancuran rumah panjang di Kalimantan
Barat juga mempengaruhi lembaga adat. Kepala rumah panjang (tuai rumah,
pada dayak Iban) yang juga bertindak sebagai kepala pemerintahan kampung
menghilang, ketika tidak ada lagi rumah panjang. Hal ini selanjutnya
mempegaruhi keputusan yang dibuat dalam pengurusan sumber daya alam yang
ada. Oleh sebab itu penghancuran rumah panjang tidak hanya berkesan
kepada solidaritas, pewarisan pengetahuan dan kebudayaan secara turun
temurun, dan sistem pertahanan kampung yang ada, akan tetapi juga
menyebabkan perubahan drastis bagi kehidupan orang dayak.
20:38
sario
Masyarakat dayak Desa secara tradisi bergantung dengan lingkungan
sekitarnya untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Ketersediaan
sumberdaya alam seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan penting untuk
kelangsungan hidup mereka. Praktek-praktek budaya sehari-hari seperti
perladangan berpindah, berburu, mengumpulkan hasil hutan menggambarkan
hubungan masyarakat setempat dengan persekitarannya.
Kerusakan persekitaran pada masyarakat tradisional (suku Dayak) yang disebabkan oleh pelbagai alasan seperti pembalakan, penanaman tumbuhan monokultur, perlombongan dan pembinaan pemukiman telah menggangu hubungan harmoni masyarakat tradisional (suku Dayak) dan sumber alam semulajadinya dalam keberlangsungan hidup secara tradisi. Sehingga masyarakat tradisional tidak boleh lagi sepenuhnya mengharapkan sumber alam yang tersisa untuk kelangsungan hidup mereka. Oleh itu mereka perlu berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas dalam memenuhi keperluan hidupnya. Dalam hubungannya dengan masyarakat lain dalam aktiviti ekonomi, mereka mesti menggunakan dan memahami bahasa yang digunakan dalam aktiviti tersebut. Bermula dari itulah bahasa lokal mulai ditinggalkan secara berlahan-lahan melalui generasi ke generasi dengan pelbagai proses.
Kerusakan hutan di lingkungan hidup masyarakat Dayak sudah terjadi sejak
lama. Secara terorganisir mulai dari Orde Baru (1965) di bawah
pemerintahan Presiden Soeharto yang menerapkan sistem pemerintahan yang
sentralisasi di pelbagai sektor, termasuk sektor kehutanan. Lebih
dari tiga puluh tahun selama era Orde Baru, pengurusan hutan di
Indonesia sangat sentralisasi, tidak terkecuali pengurusan hutan di
Kabupaten Sintang tempat Dayak Desa hidup dan menetap. Hutan dikelola
oleh perusahaan-perusahaan besar dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) yang secara penuh dikeluarkan dan dikontrol oleh pemerintahan
pusat di Jakarta.
Berselang satu tahun sejak kejatuhan rejim Orde Baru (1998), dua
undang-undang yang meletakkan dasar bagi pelaksanaan otonomi daerah
ditetapkan dan disahkan oleh Majelis Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (MPR-RI). Kedua undang-undang tersebut adalah UU No. 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. UU No. 22/1999
memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah seperti
tertuang dalam pasal 7 ayat 1 yang menyebutkan kewenangan daerah
mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang politik, pertahanan keamanan, peradilan, moneter
dan fiskal, agama, serta kewenangan lainnya.
Sebahagian besar pemerintah daerah memanfaatkan sumber alam untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah daerah dengan
kekuasaan baru mengeluarkan ijin HPH skala kecil (dikenali juga dengan
HPHH 100 ha) untuk meningkatkan PAD. Seiring dengan itu, otonomi daerah
mengharuskan pemerintah daerah untuk mandiri dalam membiayai kegiatan
perancangan dan pelaksanaan program pembangunan. Dengan keadaan seperti
ini pemerintah daerah harus mencari alternatif untuk meningkatkan PAD-
nya. Hutan merupakan salah satu sumber alam yang dijadikan sumber PAD
terpenting di pelbagai daerah, termasuk di Kalimantan Barat. Perlombaan
untuk meningkatkan PAD seringkali didorong oleh kepentingan jangka
pendek. Kaedah-kaedah konservasi dan kepentingan sosial ekonomi
masyarakat setempat (masyarakat Dayak) seringkali dikesampingkan.
Dengan fenomena penebangan kayu oleh perusahaan-perusahaan, sebahagian
penduduk lokal dan pendatang (transmigrasi) tidak tingal diam. Mereka
juga berlomba-lomba menebang hutan untuk meraih keuntungan pribadi.
Penebangan yang tidak mendapat ijin dari pemerintah inilah yang disebut
ilegal logging. Baik ilegal mahupun legal tetap saja sebagai penyumbang
kepada kerusakan hutan tempat hewan dan masyarakat tradisional
menggantungkan hidup, jadi tidak ada yang lebih baik dari keduanya.
Setelah sebahagian besar hutan di Kalimantan Barat tebang oleh
perusahaan kayu, pemerintah kemudian mengundang investor untuk mengubah
sisa hutan Kalimantan Barat menjadi kebun kelapa sawit dan HTI (Hutan
Tanaman Industri). Perusahaan-perusahaan kebun kelapa sawit tidak hanya
mengelola kawasan hutan sekunder tetapi juga meliputi kawasan hutan
primer di sekitar masyarakat Dayak (termasuk dayak Desa). Bagi kawasan
kampung yang dimasuki perusahaan kelapa sawit, sebahagian tanahnya
tempat aktivitas kelangsungan hidup (seperti siklus ladang berpindah),
diserahkan kepada perusahaan untuk ditanami kelapa sawit. Semakin luas
tanah yang diserahkan setiap keluarga, maka semakin luas ladang kelapa
sawit yang akan diterima keluarga tersebut. Hal itu, tentunya mengurangi
tanah yang selama ini sumber alamnya digunakan untuk kelangsungan
hidup. Tetapi bagaimana pun, adanya perusahaan kelapa sawit telah
membuka akses jalan ke kawasan-kawasan masyarakat dayak yang terpencil,
dimana pemerintah Indonesia tidak mampu atau tidak mau melakukannya.
Perusahaan kelapa sawit juga banyak memberikan lapangan kerja, sehingga
banyak generasi muda masyarakat dayak dapat menempuh pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Terlepas dari nilai positifnya, tetap saja
perkebunan kelapa sawit penyumbang kepada kerusakan habitat alami,
karena perkebunan ini bersifat monokultur. Selain itu, perkebunan kepala
sawit juga memberikan dampak negatif terhadap sumber air.
Selain rusaknya hutan karena pengambilan kayu, kegiatan pembukaan hutan
untuk kawasan pemukiman kembali penduduk dan transmigrasi juga
penyumbang kepada kerusakan hutan yang besar di Kalimantan Barat. Sejak
awal tahun 1900-an, kolonial Belanda telah memindahkan sejumlah besar
penduduk Pulau Jawa, Bali dan Madura dan Lombok yang berpenduduk padat
ke pulau-pulau lain seperti Kalimantan yang penduduknya sangat jarang.
Pemindahan penduduk ke Kalimantan dimulai pada tahun 1921. Sedangkan di
Kalimantan Barat antara tahun 1971 dan 1982 lebih dari 37,000 pemukim
didatangkan yang sebahagian besar orang-orang Jawa.
Banyak pihak yang telah mengatakan bahawa sistem ladang berpindah yang
dilakukan oleh masyarakat dayak adalah penyumbang kerusakan hutan. Dan
banyak pihak terutama dari aktivis masyarakat dayak sendiri
menyangkalnya. Menurut mereka sistem perladangan ini tidak merusak
hutan, karena dilakukan dengan sistem gilir. Pada pendapat saya sebagai
orang dayak yang hidup dari ladang berpindah, tentu sisitem ini juga ada
menyumbang kepada kerusakan hutan di kalimantan, walaupun skalanya saya
tidak tahu. Dengan pertumbuhan penduduk dan bertambahnya keluarga dalam
masyarakat dayak, akan meningkatkan keperluan lahan untuk aktivitas
ladang berpindah. Seperti yang telah disampaikan dalam artikel ladang berpindah pembukaan
hutan primer juga dilakukan untuk persiapan keluarga-keluarga muda.
Ketika dulu sebelum adanya perusahaan-perusahaan kayu, perkebunan kelapa
sawit, HTI dan pembukaan hutan untuk pemukiman (transmigrasi) serta
penambangan, mungkin kerusakan hutan untuk aktivitas ladang berpindah
tidak menjadi ketara dan hutan mampu pulih dengan siklus ladang
berpindah yang panjang. Namun ketika hutan menurun drastis dan adanya
peningkatan penduduk dayak, maka kegiatan ladang berpindah menjadi
ketara dalam pembukaan hutan.
Di atas telah telah dihuraikan penyebab dan parahnya kerusakan hutan di
sekitar tempat hidup masyarakat dayak pada umumnya (tidak terkecuali
persekitaran dayak Desa). Oleh itu, secara alami masyarakat dayak
dituntut terlibat dengan ekonomi dan politik yang lebih luas untuk
keberlangsungan hidupnya. Dan banyak pola budaya dan aktivitas ekonomi
lokal yang harus ditinggalkan kalau mau bertahan hidup dalam persaingan
global dan alam tradisi yang rusak. Dengan demikian, banyak nilai-nilai
budaya dan praktek budaya tradisional yang terancam pupus. Hal itu
termasuk pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan aktivitas yang
melibatkan lingkungan (tumbuhan), bahasa dan lain-lain.
20:34
sario
Masyarakat dayak Desa juga melakukan pertanian dengan sistem ladang berpindah, yang secara
teknik mirip dengan masyarakat dayak pada umumnya, seperti masyarakat
Kantuk , dayak Tanjung Lingang dan dayak Kenyah di Kalimantan Timur .
Mereka menanam padi sebagai makanan pokok utama, disamping juga menanam
ubi-ubian, keledek dan ulam. Sistem perladangan ini dilakukan secara
gilir balik, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, kemudian
kembali ke tempat semula apabila kesuburan tanahnya sudah pulih. Tanah
yang telah berkurang kesuburannya kerana ditanami padi dibiarkan
beberapa tahun (rata- rata 6 sampai 15 tahun) sehingga tumbuh menjadi
hutan sekunder muda. Proses pengembalian zat pemakanan ke dalam tanah
secara alami bergantung dari tumbuh-tumbuhan hutan. Dengan demikian
secara tidak langsung ada ketergantungan terhadap hutan bagi
masyarakat Dayak untuk mengembalikan kesuburan tanah. Sampai sekarang praktik pertanian ladang berpindah masih sangat dominan, khususnya di pedalaman Kalimantan. Diperkirakan 30% dari penduduk kalimantan masih tergantung pada pertanian perladangan ini.
Tanah di Borneo pada amnya kurang subur. Sehingga kemampuan tanah untuk
menyimpan zat makanan sebahagian besar bergantung pada kandungan humus.
Oleh sebab itu, kandungan zat makanan sangat rendah apabila lapisan
humusnya rendah. Hal ini menjelaskan tingkat kesuburan yang sangat
rendah pada ladang-ladang, kerana pembakaran vegetasi penutup dan
hakisan lapisan tanah atas menyebabkan lapisan yang subur ini hilang.
Masyarakat tempatan yang melakukan ladang berpindah, tanah seperti ini
ditanam dengan tanaman yang jangka pendek dan masa ditinggalkan (masa
bera) yang lebih panjang, supaya kesuburan tanah pulih kembali. Oleh
itu, sistem ladang berpindah yang dilakukan oleh masyarakat dayak
merupaka jawaban yang tepat bagi perjuangan mempertahankan kehidupan di
atas tanah yang relatif kurang subur dan tanah dengan topografi yang
berbukit serta bercerun. Dengan kata lain, hubungan yang mendalam antara
orang dayak dan persekitarannya yang melahirkan sistem perladangan,
iaitu merupakan model kearifan tradisional dalam pengurusan sumber daya
hutan yang berdasarkan hukum adat.
Tanah yang umumnya diolah sebagai tempat ladang berpindah adalah tanah
yang ditumbuhi oleh hutan sekunder yang terletak di sekitar perkampungan
masyarakat dayak. Hutan sekunder muda lebih subur dan lebih mudah
dikerjakan sebab tidak perlu menebang hutan rimba dengan pokok kayu yang
bersaiz besar.
Pembukaan hutan rimba untuk ladang dilakukan untuk kepemilikan tanah
dan mempersiapkan tanah bagi anak-anak mereka. Biasanya sebelum membuka
hutan mereka harus mengadakan mesyuarat dan minta ijin dari kepala desa
atau kepala adat. Dalam hukum adat, sesiapa yang membuka hutan rimba
pertama kali maka merekalah yang memiliki dan berhak mengelola tanah
berkenaan. Sedangkan apabila orang lain mau menggunakannya untuk
ladang, maka mereka boleh meminjam selama diberi ijin. Pembukaan hutan
primer dilakukan apabila sudah terbentuk rumah tangga baru dalam
keluarga, kemudian mereka memisahkan diri dari keluarga orang tuanya
dengan membuat rumah baru. Sebahagian besar keluarga yang baru terbentuk
masih tinggal bersama orang tuanya untuk mengelola tanah bersama-sama.
Tanda-tanda had kepemilikan tanah antar penduduk di hutan ialah berupa
pokok-pokok, sungai kecil, batu atau tanda alam yang lain.
Kesan penerapan ladang berpindah oleh masyarakat dayak dipulau borneo
sudah lama diperdebatkan oleh pelbagai kalangan. Ladang berpindah
dianggap sebagai penyebab kerosakan hutan dan menimbulkan kebakaran
hutan di pulau Borneo Pernyataan tersebut sering kali dibantah oleh
peneliti dari kalangan masyarakat dayak . Sistem perladangan berpindah
dengan sistem siklus (gilir balik) bukan penyebab utama kerosakan hutan
di Borneo. Kerana sistem perladangan ini memberakan tanah yang sudah
diladangi agar menjadi hutan sekunder, sehingga kesuburannya pulih
sebelum dikelola kembali. Pola pengurusan tanah dengan sistem gilir
balik seperti ini memungkinkan untuk mengelola tanah tertentu saja dan
membiarkan tanah lainnya tetap hutan rimba. Sebaliknya penyebab
kerosakan hutan utama di pulau Borneo adalah pembalakan hutan oleh
syarikat kayu dan pembukaan hutan untuk penanaman kelapa sawit. Huraian
tentang kerosakan hutan oleh kedua-dua faktor itu akan dikemukakan pada
artikel selanjutnya.
Pertumbuhan populasi masyarakat dayak akan meningkatkan
keperluan tanah untuk aktiviti perladangan. Pada masa sekarang,
pembukaan hutan primer untuk kepemilikan tapak perladangan hampir tidak
mungkin dilakukan lagi oleh masyarakat dayak Desa. Hutan primer yang
masih tersisa sebahagian besar hutan yang dijadikan kawasan konservasi
dan hutan primer tanah basah (hutan paya) yang tidak memungkinkan untuk
perladangan. Bagi kawasan kampung yang dimasuki syarikat kelapa sawit,
sebahagian tanahnya tempat siklus perladangan berlaku, diserahkan kepada
syarikat untuk ditanami tumbuhan kelapa sawit. Semakin luas tanah yang diserahkan setiap keluarga, maka semakin luas ladang kelapa sawit yang akan diterima keluarga tersebut. Hal itu, tentunya mengurangi tanah yang selama ini digunakan untuk menjaga keberlangsungan siklus ladang berpindah.
Pertanian ladang berpindah umumnya dilakukan hanya untuk
memenuhi keperluan makanan pokok seperti beras. Dengan peningkatan
keperluan hidup dan pendidikan anak, memaksa masyarakat dayak Desa untuk
mencari alternatif lain untuk menghasilkan wang. Oleh itu, banyak
kawasan tempat siklus perladangan berlasung ditanami pokok getah oleh
masyarakat.
Pertambahan populasi masyarakat dayak, penyerahan tanah
kepada syarikat kelapa sawit dan penanaman pokok getah di kawasan tempat
siklus ladang berpindah telah mengurangi luas kepemilikan tanah untuk
perladangan. Hal ini menyebabkan siklus perladangan semakin pendek.
Sehingga tidak memungkinkan lagi masa bera yang cukup panjang untuk
mengembalikan kesuburan tanah, sampai tanah tersebut diladangi kembali.
Dengan kesuburan tanah yang berkurang maka akan menurunkan hasil tanaman
padi yang diperolehi. Keadaan ini memberikan tekanan kepada hutan simpan di kawasan masyarakat berkenaan untuk dibuka sebagai tempat perladangan.
Kegiatan ladang berpindah mempunyai sejarah panjang di
Borneo. Sudah berabad-abad lamanya nenek moyang orang asli pulau Borneo
iaitu bangsa Austronesia melakukan sistem perladangan ini. Begitu banyak
aspek budaya seperti sastra lisan, bahasa pantang larang, kepercayaan,
ritual yang berkaitan dengan aktiviti ladang berpindah.
Subscribe to:
Posts (Atom)