Masyarakat dayak Desa secara tradisi bergantung dengan lingkungan
sekitarnya untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Ketersediaan
sumberdaya alam seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan penting untuk
kelangsungan hidup mereka. Praktek-praktek budaya sehari-hari seperti
perladangan berpindah, berburu, mengumpulkan hasil hutan menggambarkan
hubungan masyarakat setempat dengan persekitarannya.
Kerusakan persekitaran pada masyarakat tradisional (suku Dayak) yang disebabkan oleh pelbagai alasan seperti pembalakan, penanaman tumbuhan monokultur, perlombongan dan pembinaan pemukiman telah menggangu hubungan harmoni masyarakat tradisional (suku Dayak) dan sumber alam semulajadinya dalam keberlangsungan hidup secara tradisi. Sehingga masyarakat tradisional tidak boleh lagi sepenuhnya mengharapkan sumber alam yang tersisa untuk kelangsungan hidup mereka. Oleh itu mereka perlu berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas dalam memenuhi keperluan hidupnya. Dalam hubungannya dengan masyarakat lain dalam aktiviti ekonomi, mereka mesti menggunakan dan memahami bahasa yang digunakan dalam aktiviti tersebut. Bermula dari itulah bahasa lokal mulai ditinggalkan secara berlahan-lahan melalui generasi ke generasi dengan pelbagai proses.
Kerusakan hutan di lingkungan hidup masyarakat Dayak sudah terjadi sejak
lama. Secara terorganisir mulai dari Orde Baru (1965) di bawah
pemerintahan Presiden Soeharto yang menerapkan sistem pemerintahan yang
sentralisasi di pelbagai sektor, termasuk sektor kehutanan. Lebih
dari tiga puluh tahun selama era Orde Baru, pengurusan hutan di
Indonesia sangat sentralisasi, tidak terkecuali pengurusan hutan di
Kabupaten Sintang tempat Dayak Desa hidup dan menetap. Hutan dikelola
oleh perusahaan-perusahaan besar dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) yang secara penuh dikeluarkan dan dikontrol oleh pemerintahan
pusat di Jakarta.
Berselang satu tahun sejak kejatuhan rejim Orde Baru (1998), dua
undang-undang yang meletakkan dasar bagi pelaksanaan otonomi daerah
ditetapkan dan disahkan oleh Majelis Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (MPR-RI). Kedua undang-undang tersebut adalah UU No. 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. UU No. 22/1999
memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah seperti
tertuang dalam pasal 7 ayat 1 yang menyebutkan kewenangan daerah
mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang politik, pertahanan keamanan, peradilan, moneter
dan fiskal, agama, serta kewenangan lainnya.
Sebahagian besar pemerintah daerah memanfaatkan sumber alam untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah daerah dengan
kekuasaan baru mengeluarkan ijin HPH skala kecil (dikenali juga dengan
HPHH 100 ha) untuk meningkatkan PAD. Seiring dengan itu, otonomi daerah
mengharuskan pemerintah daerah untuk mandiri dalam membiayai kegiatan
perancangan dan pelaksanaan program pembangunan. Dengan keadaan seperti
ini pemerintah daerah harus mencari alternatif untuk meningkatkan PAD-
nya. Hutan merupakan salah satu sumber alam yang dijadikan sumber PAD
terpenting di pelbagai daerah, termasuk di Kalimantan Barat. Perlombaan
untuk meningkatkan PAD seringkali didorong oleh kepentingan jangka
pendek. Kaedah-kaedah konservasi dan kepentingan sosial ekonomi
masyarakat setempat (masyarakat Dayak) seringkali dikesampingkan.
Dengan fenomena penebangan kayu oleh perusahaan-perusahaan, sebahagian
penduduk lokal dan pendatang (transmigrasi) tidak tingal diam. Mereka
juga berlomba-lomba menebang hutan untuk meraih keuntungan pribadi.
Penebangan yang tidak mendapat ijin dari pemerintah inilah yang disebut
ilegal logging. Baik ilegal mahupun legal tetap saja sebagai penyumbang
kepada kerusakan hutan tempat hewan dan masyarakat tradisional
menggantungkan hidup, jadi tidak ada yang lebih baik dari keduanya.
Setelah sebahagian besar hutan di Kalimantan Barat tebang oleh
perusahaan kayu, pemerintah kemudian mengundang investor untuk mengubah
sisa hutan Kalimantan Barat menjadi kebun kelapa sawit dan HTI (Hutan
Tanaman Industri). Perusahaan-perusahaan kebun kelapa sawit tidak hanya
mengelola kawasan hutan sekunder tetapi juga meliputi kawasan hutan
primer di sekitar masyarakat Dayak (termasuk dayak Desa). Bagi kawasan
kampung yang dimasuki perusahaan kelapa sawit, sebahagian tanahnya
tempat aktivitas kelangsungan hidup (seperti siklus ladang berpindah),
diserahkan kepada perusahaan untuk ditanami kelapa sawit. Semakin luas
tanah yang diserahkan setiap keluarga, maka semakin luas ladang kelapa
sawit yang akan diterima keluarga tersebut. Hal itu, tentunya mengurangi
tanah yang selama ini sumber alamnya digunakan untuk kelangsungan
hidup. Tetapi bagaimana pun, adanya perusahaan kelapa sawit telah
membuka akses jalan ke kawasan-kawasan masyarakat dayak yang terpencil,
dimana pemerintah Indonesia tidak mampu atau tidak mau melakukannya.
Perusahaan kelapa sawit juga banyak memberikan lapangan kerja, sehingga
banyak generasi muda masyarakat dayak dapat menempuh pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Terlepas dari nilai positifnya, tetap saja
perkebunan kelapa sawit penyumbang kepada kerusakan habitat alami,
karena perkebunan ini bersifat monokultur. Selain itu, perkebunan kepala
sawit juga memberikan dampak negatif terhadap sumber air.
Selain rusaknya hutan karena pengambilan kayu, kegiatan pembukaan hutan
untuk kawasan pemukiman kembali penduduk dan transmigrasi juga
penyumbang kepada kerusakan hutan yang besar di Kalimantan Barat. Sejak
awal tahun 1900-an, kolonial Belanda telah memindahkan sejumlah besar
penduduk Pulau Jawa, Bali dan Madura dan Lombok yang berpenduduk padat
ke pulau-pulau lain seperti Kalimantan yang penduduknya sangat jarang.
Pemindahan penduduk ke Kalimantan dimulai pada tahun 1921. Sedangkan di
Kalimantan Barat antara tahun 1971 dan 1982 lebih dari 37,000 pemukim
didatangkan yang sebahagian besar orang-orang Jawa.
Banyak pihak yang telah mengatakan bahawa sistem ladang berpindah yang
dilakukan oleh masyarakat dayak adalah penyumbang kerusakan hutan. Dan
banyak pihak terutama dari aktivis masyarakat dayak sendiri
menyangkalnya. Menurut mereka sistem perladangan ini tidak merusak
hutan, karena dilakukan dengan sistem gilir. Pada pendapat saya sebagai
orang dayak yang hidup dari ladang berpindah, tentu sisitem ini juga ada
menyumbang kepada kerusakan hutan di kalimantan, walaupun skalanya saya
tidak tahu. Dengan pertumbuhan penduduk dan bertambahnya keluarga dalam
masyarakat dayak, akan meningkatkan keperluan lahan untuk aktivitas
ladang berpindah. Seperti yang telah disampaikan dalam artikel ladang berpindah pembukaan
hutan primer juga dilakukan untuk persiapan keluarga-keluarga muda.
Ketika dulu sebelum adanya perusahaan-perusahaan kayu, perkebunan kelapa
sawit, HTI dan pembukaan hutan untuk pemukiman (transmigrasi) serta
penambangan, mungkin kerusakan hutan untuk aktivitas ladang berpindah
tidak menjadi ketara dan hutan mampu pulih dengan siklus ladang
berpindah yang panjang. Namun ketika hutan menurun drastis dan adanya
peningkatan penduduk dayak, maka kegiatan ladang berpindah menjadi
ketara dalam pembukaan hutan.
Di atas telah telah dihuraikan penyebab dan parahnya kerusakan hutan di
sekitar tempat hidup masyarakat dayak pada umumnya (tidak terkecuali
persekitaran dayak Desa). Oleh itu, secara alami masyarakat dayak
dituntut terlibat dengan ekonomi dan politik yang lebih luas untuk
keberlangsungan hidupnya. Dan banyak pola budaya dan aktivitas ekonomi
lokal yang harus ditinggalkan kalau mau bertahan hidup dalam persaingan
global dan alam tradisi yang rusak. Dengan demikian, banyak nilai-nilai
budaya dan praktek budaya tradisional yang terancam pupus. Hal itu
termasuk pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan aktivitas yang
melibatkan lingkungan (tumbuhan), bahasa dan lain-lain.
0 comments:
Post a Comment