Wednesday 20 August 2014

Masyarakat dayak Desa secara tradisi bergantung dengan lingkungan sekitarnya untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Ketersediaan sumberdaya alam seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan penting untuk kelangsungan hidup mereka. Praktek-praktek budaya sehari-hari seperti perladangan berpindah, berburu, mengumpulkan hasil hutan menggambarkan hubungan masyarakat setempat dengan persekitarannya.

Kerusakan persekitaran pada masyarakat tradisional (suku Dayak) yang disebabkan oleh pelbagai alasan seperti pembalakan, penanaman tumbuhan monokultur, perlombongan dan pembinaan pemukiman telah menggangu hubungan harmoni masyarakat tradisional (suku Dayak) dan sumber alam semulajadinya dalam keberlangsungan hidup secara tradisi. Sehingga masyarakat tradisional tidak boleh lagi sepenuhnya mengharapkan sumber alam yang tersisa untuk kelangsungan hidup mereka. Oleh itu mereka perlu berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas dalam memenuhi keperluan hidupnya. Dalam hubungannya dengan masyarakat lain dalam aktiviti ekonomi, mereka mesti menggunakan dan memahami bahasa yang digunakan dalam aktiviti tersebut. Bermula dari itulah bahasa lokal mulai ditinggalkan secara berlahan-lahan melalui generasi ke generasi dengan pelbagai proses.
Kerusakan hutan di lingkungan hidup masyarakat Dayak sudah terjadi sejak lama. Secara terorganisir mulai dari Orde Baru (1965) di bawah pemerintahan Presiden Soeharto yang menerapkan sistem pemerintahan yang sentralisasi di pelbagai sektor, termasuk sektor  kehutanan. Lebih  dari  tiga  puluh  tahun  selama  era Orde Baru, pengurusan hutan di Indonesia sangat sentralisasi, tidak terkecuali pengurusan  hutan di Kabupaten Sintang tempat Dayak Desa hidup dan menetap. Hutan dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang secara penuh dikeluarkan dan dikontrol oleh pemerintahan pusat di Jakarta.
Berselang  satu tahun sejak kejatuhan rejim Orde Baru (1998), dua undang-undang yang meletakkan dasar bagi pelaksanaan otonomi daerah ditetapkan dan disahkan oleh Majelis Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI). Kedua undang-undang tersebut adalah UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. UU No. 22/1999 memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah seperti tertuang dalam pasal 7 ayat 1 yang menyebutkan kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lainnya.
Sebahagian besar pemerintah daerah memanfaatkan sumber alam untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah daerah dengan kekuasaan baru mengeluarkan ijin HPH skala kecil (dikenali juga dengan HPHH 100 ha) untuk meningkatkan PAD. Seiring dengan itu, otonomi daerah mengharuskan pemerintah daerah untuk mandiri dalam membiayai kegiatan perancangan dan pelaksanaan program pembangunan. Dengan keadaan seperti ini pemerintah daerah harus mencari alternatif untuk meningkatkan PAD- nya. Hutan merupakan salah satu sumber alam yang dijadikan sumber PAD terpenting di pelbagai daerah, termasuk di Kalimantan Barat. Perlombaan untuk meningkatkan PAD seringkali didorong oleh kepentingan jangka pendek. Kaedah-kaedah konservasi dan kepentingan sosial ekonomi masyarakat setempat (masyarakat Dayak) seringkali dikesampingkan.
Dengan fenomena penebangan kayu oleh perusahaan-perusahaan, sebahagian penduduk lokal dan pendatang (transmigrasi) tidak tingal diam. Mereka juga berlomba-lomba menebang hutan untuk meraih keuntungan pribadi. Penebangan yang tidak mendapat ijin dari pemerintah inilah yang disebut ilegal logging. Baik ilegal mahupun legal tetap saja sebagai penyumbang kepada kerusakan hutan tempat hewan dan masyarakat tradisional menggantungkan hidup, jadi tidak ada yang lebih baik dari keduanya.
Setelah sebahagian besar hutan di Kalimantan Barat tebang oleh perusahaan kayu, pemerintah kemudian mengundang investor untuk mengubah sisa hutan Kalimantan Barat menjadi kebun kelapa sawit dan HTI (Hutan Tanaman Industri). Perusahaan-perusahaan kebun kelapa sawit tidak hanya mengelola kawasan hutan sekunder tetapi juga meliputi kawasan hutan primer di sekitar masyarakat Dayak (termasuk dayak Desa). Bagi kawasan kampung yang dimasuki perusahaan kelapa sawit, sebahagian tanahnya tempat aktivitas kelangsungan hidup (seperti siklus ladang berpindah), diserahkan kepada perusahaan untuk ditanami kelapa sawit. Semakin luas tanah yang diserahkan setiap keluarga, maka semakin luas ladang kelapa sawit yang akan diterima keluarga tersebut. Hal itu, tentunya mengurangi tanah yang selama ini sumber alamnya digunakan untuk kelangsungan hidup. Tetapi bagaimana pun, adanya perusahaan kelapa sawit telah membuka akses jalan ke kawasan-kawasan masyarakat dayak yang terpencil, dimana pemerintah Indonesia tidak mampu atau tidak mau melakukannya. Perusahaan kelapa sawit juga banyak memberikan lapangan kerja, sehingga banyak generasi muda masyarakat dayak dapat menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Terlepas dari nilai positifnya, tetap saja perkebunan kelapa sawit penyumbang kepada kerusakan habitat alami, karena perkebunan ini bersifat monokultur. Selain itu, perkebunan kepala sawit juga memberikan dampak negatif terhadap sumber air.
Selain rusaknya hutan karena pengambilan kayu, kegiatan pembukaan hutan untuk kawasan pemukiman kembali penduduk dan transmigrasi juga penyumbang kepada kerusakan hutan yang besar di Kalimantan Barat. Sejak awal tahun 1900-an, kolonial Belanda telah memindahkan sejumlah besar penduduk Pulau Jawa, Bali dan Madura dan Lombok yang berpenduduk padat ke pulau-pulau lain seperti Kalimantan yang penduduknya sangat jarang. Pemindahan penduduk ke Kalimantan dimulai pada tahun 1921. Sedangkan di Kalimantan Barat antara tahun 1971 dan 1982 lebih dari 37,000 pemukim didatangkan yang sebahagian besar orang-orang Jawa.
Banyak pihak yang telah mengatakan bahawa sistem ladang berpindah yang dilakukan oleh masyarakat dayak adalah penyumbang kerusakan hutan. Dan banyak pihak terutama dari aktivis masyarakat dayak sendiri menyangkalnya. Menurut mereka sistem perladangan ini tidak merusak hutan, karena dilakukan dengan sistem gilir. Pada pendapat saya sebagai orang dayak yang hidup dari ladang berpindah, tentu sisitem ini juga ada menyumbang kepada kerusakan hutan di kalimantan, walaupun skalanya saya tidak tahu. Dengan pertumbuhan penduduk dan bertambahnya keluarga dalam masyarakat dayak, akan meningkatkan keperluan lahan untuk aktivitas ladang berpindah. Seperti yang telah disampaikan dalam artikel ladang berpindah pembukaan hutan primer juga dilakukan untuk persiapan keluarga-keluarga muda. Ketika dulu sebelum adanya perusahaan-perusahaan kayu, perkebunan kelapa sawit, HTI dan pembukaan hutan untuk pemukiman (transmigrasi) serta penambangan, mungkin kerusakan hutan untuk aktivitas ladang berpindah tidak menjadi ketara dan hutan mampu pulih dengan siklus ladang berpindah yang panjang. Namun ketika hutan menurun drastis dan adanya peningkatan penduduk dayak, maka kegiatan ladang berpindah menjadi ketara dalam pembukaan hutan.

Di atas telah telah dihuraikan penyebab dan parahnya kerusakan hutan di sekitar tempat hidup masyarakat dayak pada umumnya (tidak terkecuali persekitaran dayak Desa).  Oleh itu, secara alami masyarakat dayak dituntut terlibat dengan ekonomi dan politik yang lebih luas untuk keberlangsungan hidupnya. Dan banyak pola budaya dan  aktivitas ekonomi lokal yang harus ditinggalkan kalau mau bertahan hidup dalam persaingan global dan alam tradisi yang rusak. Dengan demikian, banyak nilai-nilai budaya dan praktek budaya tradisional yang terancam pupus. Hal itu termasuk pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan aktivitas yang melibatkan lingkungan (tumbuhan), bahasa dan lain-lain.

0 comments:

Post a Comment