Rumah panjang merupakan salah satu
ciri atau identitas utama masyarakat dayak pada umumnya . Masyarakat
dayak Desa dulunya juga tinggal di rumah-rumah panjang. Namun sekarang
rumah panjang bagi masyarakat dayak Desa tidak lebih dari sekedar simbol
budaya. Satu-satunya kampung masyarakat dayak Desa yang masih bertahan
di rumah panjang hanya kampung Ensait Panjang. Itu pun kerana dijadikan
kawasan wisata dan budaya oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang . Hal
itu juga berlaku di Kabupaten Pontianak, satu-satunya rumah panjang
yang masih ada terdapat di Sahapm, itu juga dipertahankan pemerintah
untuk kepentingan pariwisata. Sedangkan di Kabupaten Sambas dan Sanggau
tidak dijumpai lagi .Beberapa rumah panjang masih terdapat di kawasan
yang relatif terpencil di Kabupaten Kapuas Hulu.
Hilangnya rumah panjang tidak terlepas dari program pembangunan yang
dilakukan oleh pemerintah. Misalnya program regrouping bagi desa-desa
terisolasi yang dihuni masyarakat dayak, melalui projek resettlement
desa dan resettlement penduduk. Bahkan budaya masyarakat dayak di
pedalaman, terutamanya rumah panjang didakwa turut menghambat program
penataan desa . Kedatangan masyarakat transmigran dari Pulau Jawa pada
tahun 1980-an memberikan impak yang besar terhadap hilangnya rumah
panjang bagi masyarakat dayak Desa di Kabupaten Sintang. Sebelum
kedatangan orang transmigran dari pulau jawa, masyarakat dayak Desa
umumnya tinggal di rumah-rumah panjang yang tersebar di kampung-kampung.
Sebahagian kampung dayak Desa terbabit dalam program transmigrasi,
sehingga mendapatkan jatah rumah sama dengan masyarakat transmigran.
Kampung yang tidak terbabit pun lama-kelamaan mengikuti pola rumah
tunggal dan meninggalkan sistem rumah panjang. Ditinggalkannya sistem
rumah panjang dilakukan dengan pelbagai alasan, antaranya terbabit dalam
program transmigrasi, membina rumah dekat dengan fasiliti negara
seperti seperti jalan, klinik kesihatan dan sekolah.
Pemindahan penduduk di atas memiliki kesan sosial dan ekologi .
Pihak-pihak yang menentang atas asas persekitaran, menganggap program
transmigrasi penyebab utama kerosakan hutan. Kebanyakan transmigran
adalah orang-orang jawa, yang mungkin beranggapan bahawa hutan adalah
sumber hantu dan binatang-binatang penggangu dan amat senang melihat
hutan ditebang, meskipun semak belukar dapat menampung lebih banyak babi
hutan dan tikus daripada keadaan hutan alami sebelumnya
Gaya hidup dirumah panjang memungkinkan tumbuhnya semangat kebersamaan
dan perpaduan serta memungkinkan transfer pengetahuan secara automatik
dari generasi tua ke generasi muda. Ketiga orang dayak masih tinggal
dirumah panjang, setiap kejadian penting dalam kehidupan seperti
kelahiran, perkahwinan, atau kematian, secara automatik dipikul
bersama-sama sebagai sebuah keluarga besar. Ketika salah satu anggota
keluarga rumah panjang berhasil menangkap binatang buruan, dagingnya
akan diagih-agihkan dengan seluruh anggota rumah panjang yang lain.
Kesan perubahan gaya hidup dari rumah panjang ke rumah tunggal terlihat
dengan jelas. Nilai kekerabatan, gotong-royong, hukum adat dan sistem
kemsyarakatan yang tumbuh dan berkembang dari interaksi kehidupan rumah
panjang kini tidak lagi terjaga. Kehancuran rumah panjang di Kalimantan
Barat juga mempengaruhi lembaga adat. Kepala rumah panjang (tuai rumah,
pada dayak Iban) yang juga bertindak sebagai kepala pemerintahan kampung
menghilang, ketika tidak ada lagi rumah panjang. Hal ini selanjutnya
mempegaruhi keputusan yang dibuat dalam pengurusan sumber daya alam yang
ada. Oleh sebab itu penghancuran rumah panjang tidak hanya berkesan
kepada solidaritas, pewarisan pengetahuan dan kebudayaan secara turun
temurun, dan sistem pertahanan kampung yang ada, akan tetapi juga
menyebabkan perubahan drastis bagi kehidupan orang dayak.
0 comments:
Post a Comment