Wednesday 20 August 2014

Rumah panjang merupakan salah satu ciri atau identitas utama masyarakat dayak pada umumnya . Masyarakat dayak Desa dulunya juga tinggal di rumah-rumah panjang. Namun sekarang rumah panjang bagi masyarakat dayak Desa tidak lebih dari sekedar simbol budaya. Satu-satunya kampung masyarakat dayak Desa yang masih bertahan di rumah panjang hanya kampung Ensait Panjang. Itu pun kerana dijadikan kawasan wisata dan budaya oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang . Hal itu juga berlaku di Kabupaten Pontianak, satu-satunya rumah panjang yang masih ada terdapat di Sahapm, itu juga dipertahankan pemerintah untuk kepentingan pariwisata. Sedangkan di Kabupaten Sambas dan Sanggau tidak dijumpai lagi .Beberapa rumah panjang masih terdapat di kawasan yang relatif terpencil di Kabupaten Kapuas Hulu.


Hilangnya rumah panjang tidak terlepas dari program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Misalnya program regrouping bagi desa-desa terisolasi yang dihuni masyarakat dayak, melalui projek resettlement desa dan resettlement penduduk. Bahkan budaya masyarakat dayak di pedalaman, terutamanya rumah panjang didakwa turut menghambat program penataan desa . Kedatangan masyarakat transmigran dari Pulau Jawa pada tahun 1980-an memberikan impak yang besar terhadap hilangnya rumah panjang bagi masyarakat dayak Desa di Kabupaten Sintang. Sebelum kedatangan orang transmigran dari pulau jawa, masyarakat dayak Desa umumnya tinggal di rumah-rumah panjang yang tersebar di kampung-kampung. Sebahagian kampung dayak Desa terbabit dalam program transmigrasi, sehingga mendapatkan jatah rumah sama dengan masyarakat transmigran. Kampung yang tidak terbabit pun lama-kelamaan mengikuti pola rumah tunggal dan meninggalkan sistem rumah panjang. Ditinggalkannya sistem rumah panjang dilakukan dengan pelbagai alasan, antaranya terbabit dalam program transmigrasi, membina rumah dekat dengan fasiliti negara seperti seperti jalan, klinik kesihatan dan sekolah.


Pemindahan penduduk di atas memiliki kesan sosial dan ekologi . Pihak-pihak yang menentang atas asas persekitaran, menganggap program transmigrasi penyebab utama kerosakan hutan. Kebanyakan transmigran adalah orang-orang jawa, yang mungkin beranggapan bahawa hutan adalah sumber hantu dan binatang-binatang penggangu dan amat senang melihat hutan ditebang, meskipun semak belukar dapat menampung lebih banyak babi hutan dan tikus daripada keadaan hutan alami sebelumnya


Gaya hidup dirumah panjang memungkinkan tumbuhnya semangat kebersamaan dan perpaduan serta memungkinkan transfer pengetahuan secara automatik dari generasi tua ke generasi muda. Ketiga orang dayak masih tinggal dirumah panjang, setiap kejadian penting dalam kehidupan seperti kelahiran, perkahwinan, atau kematian, secara automatik dipikul bersama-sama sebagai sebuah keluarga besar. Ketika salah satu anggota keluarga rumah panjang berhasil menangkap binatang buruan, dagingnya akan diagih-agihkan dengan seluruh anggota rumah panjang yang lain.


Kesan perubahan gaya hidup dari rumah panjang ke rumah tunggal terlihat dengan jelas. Nilai kekerabatan, gotong-royong, hukum adat dan sistem kemsyarakatan yang tumbuh dan berkembang dari interaksi kehidupan rumah panjang kini tidak lagi terjaga. Kehancuran rumah panjang di Kalimantan Barat juga mempengaruhi lembaga adat. Kepala rumah panjang (tuai rumah, pada dayak Iban) yang juga bertindak sebagai kepala pemerintahan kampung menghilang, ketika tidak ada lagi rumah panjang. Hal ini selanjutnya mempegaruhi keputusan yang dibuat dalam pengurusan sumber daya alam yang ada. Oleh sebab itu penghancuran rumah panjang tidak hanya berkesan kepada solidaritas, pewarisan pengetahuan dan kebudayaan secara turun temurun, dan sistem pertahanan kampung yang ada, akan tetapi juga menyebabkan perubahan drastis bagi kehidupan orang dayak.

0 comments:

Post a Comment