Thursday 28 August 2014

Tidak ada sekolah formal dalam masyarakat dayak untuk mewariskan pengetahuan tradisonalnya kepada generasi yang lebih muda. Bahkan pendidikan formal yang ada merupakan penyebab hilangnya pengetahuan tradisional. Pewarisan itu terjadi dalam aktiviti sehari-hari, baik ketika kehutan, berburu, berladang, menghibur anak dengan dongeng, dalam ritual dan sebagainya. Itu bermakna, ketika ada salah satu aktiviti budaya yang jarang atau sudah tidak dilakukan lagi berarti terputuslah jalur pewarisan pengetahuan tradisional tersebut.

Perubahan budaya masyarakat kerana pemodenan cara hidup adalah salah satu penyebab ditinggalkannya banyak budaya tradisional. Bahkan pengamalan beberapa aktiviti budaya tradisi dianggap kuno dan primitif . Di zaman yang serba digital sekarang, baik dari permaian, hiburan, mengurangkan minat generasi muda terhadap pengetahuan dan budaya tradisional. Unsur teknologi berkait erat dengan peralihan bahasa. Sejak dilancarkannya Intelsat III dalam orbitnya di atas Samudera India, terbukalah jalur komunikasi dunia yang tidak tersekat oleh apapun. Namun hanya bahasa tertentu yang dapat digunakan untuk mengoperasikan teknologi baru ini. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan beberapa bahasa menjadi kuat, kerana ianya ikut serta dalam perkembangan teknologi. Hal ini menjadi sebab langsung mahupun tidak langsung yang menjadi penyebab pertukaran bahasa. Pandangan ibu bapa juga mulai bergeser. Dengan menguasai bahasa tersebut, anak-anak mereka dapat memperoleh berbagai-bagai kelebihan dibandingkan dengan menjadi penutur bahasa asli.

Fenomena seperti di atas juga terjadi di Kalimantan. Bahasa yang mempunyai status lebih tinggi dan dituturkan oleh lebih banyak orang, akan lebih banyak diminati. Apalagi oleh generasi muda yang banyak berminat terhadap teknologi. Mereka menjadi kehilangan banyak kosakata dan kurang memahami lagi kearifan lokal tempatan. Terlebih pada masa sekarang ini penguasaan bahasa internasional semakin diminati. Kerana penguasaan bahasa ini akan memberikan akses untuk memasuki dunia yang lebih besar dan menawarkan berbagai-bagai kesempatan yang terbuka luas. Hal ini jelas memberi kesan tentang pewarisan budaya. Kerana sebagaian besar budaya di kod-kod kan dalam bahasa pembawanya. Bersamaan dangan bahasa, banyak pengetahuan budaya dan kebijakan lokal, cara hidup dan pandangan dari penutur dalam keadaan terancam. meski tidak semua pengetahuan mungkin di kodekan secara linguistik, bahasa merupakan alat utama manusia dalam menghuraikan, memelihara, mengembangkan dan mewariskan pengetahuan.

Kekurangan golongan yang menguasai pelbagai pengetahuan makin berkurang. Apatah lagi pengamalan budaya tradisional tidak diamalkan lagi, sehingga pewarisan budaya mengalami masalah. Ini berarti meninggalnya orang yg memiliki kepakaran tentang budaya tersebut merupakan kerugian yang besar .

Adanya hiburan yang berbentuk digital, membuat anak dan ibu tidak mewariskan dongeng-dongeng lagi. Ketika mencabut rumput pun bahan cerita ibu-ibu pun cerita tentang kisah cereka rama di televisyen. Anak dari kecil umur 6 tahun sudah di sekolah, jika sampai kuliah, 22 tahun itu tidak dekat dgn persekitarannya. Ini jelas menjejaskan pewarisan pengetahuan. Ditambah lagi faktor persekitaran sebagai tempat penyokong banyak pengetahuan tradisional sudah rusak.

Hutan merupakan tempat mewariskan ilmu pengetahuan tradisional. Hutan berfungsi sebagai objek dan tempat belajar untuk mewariskan ilmu-ilmu tradisional dari orang tua kepada anaknya. Di hutan orang tua mengajar anak-anaknya tentang tumbuh-tumbuhan yang boleh dimakan, ubat-ubatan, tumbuhan beracun, bagaimana mengenali ciri-ciri, mengenali nama dan bagaimana memanfaatkannya untuk mendapatkan nafkah sehari-hari .
Belajar di dalam hutan melalui kebiasaan yang bermula dengan ikut- ikutan masuk ke hutan dari sejak kecil, mereka secara tidak sengaja mendapatkan pengalaman dan pelajaran dari orang tuanya untuk mengenal hutan, cara menyelamatkan diri, dan pelbagai cara hidup di dalam hutan. Pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun itu merupakan pendidikan informal yang sangat berharga bagi orang Dayak maupun masyarakat luas apabila dikaji dan dikembangkan lebih lanjut. Sebagai contoh dalam mengenal tanaman ubat dan racun, manfaatnya untuk jenis penyakit apa, bagaimana cara pengolahannya, dan sebagainya. pengetahuan ini juga penting bagi masyarakat luas .

Wednesday 20 August 2014

Rumah panjang merupakan salah satu ciri atau identitas utama masyarakat dayak pada umumnya . Masyarakat dayak Desa dulunya juga tinggal di rumah-rumah panjang. Namun sekarang rumah panjang bagi masyarakat dayak Desa tidak lebih dari sekedar simbol budaya. Satu-satunya kampung masyarakat dayak Desa yang masih bertahan di rumah panjang hanya kampung Ensait Panjang. Itu pun kerana dijadikan kawasan wisata dan budaya oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang . Hal itu juga berlaku di Kabupaten Pontianak, satu-satunya rumah panjang yang masih ada terdapat di Sahapm, itu juga dipertahankan pemerintah untuk kepentingan pariwisata. Sedangkan di Kabupaten Sambas dan Sanggau tidak dijumpai lagi .Beberapa rumah panjang masih terdapat di kawasan yang relatif terpencil di Kabupaten Kapuas Hulu.


Hilangnya rumah panjang tidak terlepas dari program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Misalnya program regrouping bagi desa-desa terisolasi yang dihuni masyarakat dayak, melalui projek resettlement desa dan resettlement penduduk. Bahkan budaya masyarakat dayak di pedalaman, terutamanya rumah panjang didakwa turut menghambat program penataan desa . Kedatangan masyarakat transmigran dari Pulau Jawa pada tahun 1980-an memberikan impak yang besar terhadap hilangnya rumah panjang bagi masyarakat dayak Desa di Kabupaten Sintang. Sebelum kedatangan orang transmigran dari pulau jawa, masyarakat dayak Desa umumnya tinggal di rumah-rumah panjang yang tersebar di kampung-kampung. Sebahagian kampung dayak Desa terbabit dalam program transmigrasi, sehingga mendapatkan jatah rumah sama dengan masyarakat transmigran. Kampung yang tidak terbabit pun lama-kelamaan mengikuti pola rumah tunggal dan meninggalkan sistem rumah panjang. Ditinggalkannya sistem rumah panjang dilakukan dengan pelbagai alasan, antaranya terbabit dalam program transmigrasi, membina rumah dekat dengan fasiliti negara seperti seperti jalan, klinik kesihatan dan sekolah.


Pemindahan penduduk di atas memiliki kesan sosial dan ekologi . Pihak-pihak yang menentang atas asas persekitaran, menganggap program transmigrasi penyebab utama kerosakan hutan. Kebanyakan transmigran adalah orang-orang jawa, yang mungkin beranggapan bahawa hutan adalah sumber hantu dan binatang-binatang penggangu dan amat senang melihat hutan ditebang, meskipun semak belukar dapat menampung lebih banyak babi hutan dan tikus daripada keadaan hutan alami sebelumnya


Gaya hidup dirumah panjang memungkinkan tumbuhnya semangat kebersamaan dan perpaduan serta memungkinkan transfer pengetahuan secara automatik dari generasi tua ke generasi muda. Ketiga orang dayak masih tinggal dirumah panjang, setiap kejadian penting dalam kehidupan seperti kelahiran, perkahwinan, atau kematian, secara automatik dipikul bersama-sama sebagai sebuah keluarga besar. Ketika salah satu anggota keluarga rumah panjang berhasil menangkap binatang buruan, dagingnya akan diagih-agihkan dengan seluruh anggota rumah panjang yang lain.


Kesan perubahan gaya hidup dari rumah panjang ke rumah tunggal terlihat dengan jelas. Nilai kekerabatan, gotong-royong, hukum adat dan sistem kemsyarakatan yang tumbuh dan berkembang dari interaksi kehidupan rumah panjang kini tidak lagi terjaga. Kehancuran rumah panjang di Kalimantan Barat juga mempengaruhi lembaga adat. Kepala rumah panjang (tuai rumah, pada dayak Iban) yang juga bertindak sebagai kepala pemerintahan kampung menghilang, ketika tidak ada lagi rumah panjang. Hal ini selanjutnya mempegaruhi keputusan yang dibuat dalam pengurusan sumber daya alam yang ada. Oleh sebab itu penghancuran rumah panjang tidak hanya berkesan kepada solidaritas, pewarisan pengetahuan dan kebudayaan secara turun temurun, dan sistem pertahanan kampung yang ada, akan tetapi juga menyebabkan perubahan drastis bagi kehidupan orang dayak.
Masyarakat dayak Desa secara tradisi bergantung dengan lingkungan sekitarnya untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Ketersediaan sumberdaya alam seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan penting untuk kelangsungan hidup mereka. Praktek-praktek budaya sehari-hari seperti perladangan berpindah, berburu, mengumpulkan hasil hutan menggambarkan hubungan masyarakat setempat dengan persekitarannya.

Kerusakan persekitaran pada masyarakat tradisional (suku Dayak) yang disebabkan oleh pelbagai alasan seperti pembalakan, penanaman tumbuhan monokultur, perlombongan dan pembinaan pemukiman telah menggangu hubungan harmoni masyarakat tradisional (suku Dayak) dan sumber alam semulajadinya dalam keberlangsungan hidup secara tradisi. Sehingga masyarakat tradisional tidak boleh lagi sepenuhnya mengharapkan sumber alam yang tersisa untuk kelangsungan hidup mereka. Oleh itu mereka perlu berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas dalam memenuhi keperluan hidupnya. Dalam hubungannya dengan masyarakat lain dalam aktiviti ekonomi, mereka mesti menggunakan dan memahami bahasa yang digunakan dalam aktiviti tersebut. Bermula dari itulah bahasa lokal mulai ditinggalkan secara berlahan-lahan melalui generasi ke generasi dengan pelbagai proses.
Kerusakan hutan di lingkungan hidup masyarakat Dayak sudah terjadi sejak lama. Secara terorganisir mulai dari Orde Baru (1965) di bawah pemerintahan Presiden Soeharto yang menerapkan sistem pemerintahan yang sentralisasi di pelbagai sektor, termasuk sektor  kehutanan. Lebih  dari  tiga  puluh  tahun  selama  era Orde Baru, pengurusan hutan di Indonesia sangat sentralisasi, tidak terkecuali pengurusan  hutan di Kabupaten Sintang tempat Dayak Desa hidup dan menetap. Hutan dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang secara penuh dikeluarkan dan dikontrol oleh pemerintahan pusat di Jakarta.
Berselang  satu tahun sejak kejatuhan rejim Orde Baru (1998), dua undang-undang yang meletakkan dasar bagi pelaksanaan otonomi daerah ditetapkan dan disahkan oleh Majelis Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI). Kedua undang-undang tersebut adalah UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. UU No. 22/1999 memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah seperti tertuang dalam pasal 7 ayat 1 yang menyebutkan kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lainnya.
Sebahagian besar pemerintah daerah memanfaatkan sumber alam untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah daerah dengan kekuasaan baru mengeluarkan ijin HPH skala kecil (dikenali juga dengan HPHH 100 ha) untuk meningkatkan PAD. Seiring dengan itu, otonomi daerah mengharuskan pemerintah daerah untuk mandiri dalam membiayai kegiatan perancangan dan pelaksanaan program pembangunan. Dengan keadaan seperti ini pemerintah daerah harus mencari alternatif untuk meningkatkan PAD- nya. Hutan merupakan salah satu sumber alam yang dijadikan sumber PAD terpenting di pelbagai daerah, termasuk di Kalimantan Barat. Perlombaan untuk meningkatkan PAD seringkali didorong oleh kepentingan jangka pendek. Kaedah-kaedah konservasi dan kepentingan sosial ekonomi masyarakat setempat (masyarakat Dayak) seringkali dikesampingkan.
Dengan fenomena penebangan kayu oleh perusahaan-perusahaan, sebahagian penduduk lokal dan pendatang (transmigrasi) tidak tingal diam. Mereka juga berlomba-lomba menebang hutan untuk meraih keuntungan pribadi. Penebangan yang tidak mendapat ijin dari pemerintah inilah yang disebut ilegal logging. Baik ilegal mahupun legal tetap saja sebagai penyumbang kepada kerusakan hutan tempat hewan dan masyarakat tradisional menggantungkan hidup, jadi tidak ada yang lebih baik dari keduanya.
Setelah sebahagian besar hutan di Kalimantan Barat tebang oleh perusahaan kayu, pemerintah kemudian mengundang investor untuk mengubah sisa hutan Kalimantan Barat menjadi kebun kelapa sawit dan HTI (Hutan Tanaman Industri). Perusahaan-perusahaan kebun kelapa sawit tidak hanya mengelola kawasan hutan sekunder tetapi juga meliputi kawasan hutan primer di sekitar masyarakat Dayak (termasuk dayak Desa). Bagi kawasan kampung yang dimasuki perusahaan kelapa sawit, sebahagian tanahnya tempat aktivitas kelangsungan hidup (seperti siklus ladang berpindah), diserahkan kepada perusahaan untuk ditanami kelapa sawit. Semakin luas tanah yang diserahkan setiap keluarga, maka semakin luas ladang kelapa sawit yang akan diterima keluarga tersebut. Hal itu, tentunya mengurangi tanah yang selama ini sumber alamnya digunakan untuk kelangsungan hidup. Tetapi bagaimana pun, adanya perusahaan kelapa sawit telah membuka akses jalan ke kawasan-kawasan masyarakat dayak yang terpencil, dimana pemerintah Indonesia tidak mampu atau tidak mau melakukannya. Perusahaan kelapa sawit juga banyak memberikan lapangan kerja, sehingga banyak generasi muda masyarakat dayak dapat menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Terlepas dari nilai positifnya, tetap saja perkebunan kelapa sawit penyumbang kepada kerusakan habitat alami, karena perkebunan ini bersifat monokultur. Selain itu, perkebunan kepala sawit juga memberikan dampak negatif terhadap sumber air.
Selain rusaknya hutan karena pengambilan kayu, kegiatan pembukaan hutan untuk kawasan pemukiman kembali penduduk dan transmigrasi juga penyumbang kepada kerusakan hutan yang besar di Kalimantan Barat. Sejak awal tahun 1900-an, kolonial Belanda telah memindahkan sejumlah besar penduduk Pulau Jawa, Bali dan Madura dan Lombok yang berpenduduk padat ke pulau-pulau lain seperti Kalimantan yang penduduknya sangat jarang. Pemindahan penduduk ke Kalimantan dimulai pada tahun 1921. Sedangkan di Kalimantan Barat antara tahun 1971 dan 1982 lebih dari 37,000 pemukim didatangkan yang sebahagian besar orang-orang Jawa.
Banyak pihak yang telah mengatakan bahawa sistem ladang berpindah yang dilakukan oleh masyarakat dayak adalah penyumbang kerusakan hutan. Dan banyak pihak terutama dari aktivis masyarakat dayak sendiri menyangkalnya. Menurut mereka sistem perladangan ini tidak merusak hutan, karena dilakukan dengan sistem gilir. Pada pendapat saya sebagai orang dayak yang hidup dari ladang berpindah, tentu sisitem ini juga ada menyumbang kepada kerusakan hutan di kalimantan, walaupun skalanya saya tidak tahu. Dengan pertumbuhan penduduk dan bertambahnya keluarga dalam masyarakat dayak, akan meningkatkan keperluan lahan untuk aktivitas ladang berpindah. Seperti yang telah disampaikan dalam artikel ladang berpindah pembukaan hutan primer juga dilakukan untuk persiapan keluarga-keluarga muda. Ketika dulu sebelum adanya perusahaan-perusahaan kayu, perkebunan kelapa sawit, HTI dan pembukaan hutan untuk pemukiman (transmigrasi) serta penambangan, mungkin kerusakan hutan untuk aktivitas ladang berpindah tidak menjadi ketara dan hutan mampu pulih dengan siklus ladang berpindah yang panjang. Namun ketika hutan menurun drastis dan adanya peningkatan penduduk dayak, maka kegiatan ladang berpindah menjadi ketara dalam pembukaan hutan.

Di atas telah telah dihuraikan penyebab dan parahnya kerusakan hutan di sekitar tempat hidup masyarakat dayak pada umumnya (tidak terkecuali persekitaran dayak Desa).  Oleh itu, secara alami masyarakat dayak dituntut terlibat dengan ekonomi dan politik yang lebih luas untuk keberlangsungan hidupnya. Dan banyak pola budaya dan  aktivitas ekonomi lokal yang harus ditinggalkan kalau mau bertahan hidup dalam persaingan global dan alam tradisi yang rusak. Dengan demikian, banyak nilai-nilai budaya dan praktek budaya tradisional yang terancam pupus. Hal itu termasuk pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan aktivitas yang melibatkan lingkungan (tumbuhan), bahasa dan lain-lain.
Masyarakat dayak Desa juga melakukan pertanian dengan sistem ladang berpindah, yang secara teknik mirip dengan masyarakat dayak pada umumnya, seperti masyarakat Kantuk , dayak Tanjung Lingang  dan dayak Kenyah di Kalimantan Timur . Mereka menanam padi sebagai makanan pokok utama, disamping juga menanam ubi-ubian, keledek dan ulam. Sistem perladangan ini dilakukan secara gilir balik, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, kemudian kembali ke tempat semula apabila kesuburan tanahnya sudah pulih. Tanah yang telah berkurang kesuburannya kerana ditanami padi dibiarkan beberapa tahun (rata- rata 6 sampai 15 tahun) sehingga tumbuh menjadi hutan sekunder muda. Proses pengembalian zat pemakanan ke dalam tanah secara alami bergantung dari tumbuh-tumbuhan hutan. Dengan demikian  secara tidak  langsung ada ketergantungan  terhadap  hutan bagi masyarakat Dayak untuk mengembalikan kesuburan tanah. Sampai sekarang praktik pertanian ladang berpindah masih sangat dominan, khususnya di pedalaman Kalimantan. Diperkirakan 30% dari penduduk kalimantan masih tergantung pada pertanian perladangan ini.
Tanah di Borneo pada amnya kurang subur. Sehingga kemampuan tanah untuk menyimpan zat makanan sebahagian besar bergantung pada kandungan humus. Oleh sebab itu, kandungan zat makanan sangat rendah apabila lapisan humusnya rendah. Hal ini menjelaskan tingkat kesuburan yang sangat rendah pada ladang-ladang, kerana pembakaran vegetasi penutup dan hakisan lapisan tanah atas menyebabkan lapisan yang subur ini hilang. Masyarakat tempatan yang melakukan ladang berpindah, tanah seperti ini ditanam dengan tanaman yang jangka pendek dan masa ditinggalkan (masa bera) yang lebih panjang, supaya kesuburan tanah pulih kembali. Oleh itu, sistem ladang berpindah yang dilakukan oleh masyarakat dayak merupaka jawaban yang tepat bagi perjuangan mempertahankan kehidupan di atas tanah yang relatif kurang subur dan tanah dengan topografi yang berbukit serta bercerun. Dengan kata lain, hubungan yang mendalam antara orang dayak dan persekitarannya yang melahirkan sistem perladangan, iaitu merupakan model kearifan tradisional dalam pengurusan sumber daya hutan yang berdasarkan hukum adat.
Tanah yang umumnya diolah sebagai tempat ladang berpindah adalah tanah yang ditumbuhi oleh hutan sekunder yang terletak di sekitar perkampungan masyarakat dayak. Hutan sekunder muda lebih subur dan lebih mudah dikerjakan sebab tidak perlu menebang hutan rimba dengan pokok kayu yang bersaiz besar. Pembukaan  hutan  rimba untuk ladang dilakukan  untuk kepemilikan tanah dan mempersiapkan tanah bagi anak-anak mereka. Biasanya sebelum membuka hutan mereka harus mengadakan mesyuarat dan minta ijin dari kepala desa atau kepala adat. Dalam hukum  adat, sesiapa yang membuka hutan rimba pertama kali maka merekalah yang memiliki dan berhak mengelola tanah berkenaan. Sedangkan  apabila orang  lain mau menggunakannya untuk ladang, maka  mereka  boleh meminjam selama diberi ijin. Pembukaan hutan primer dilakukan apabila  sudah terbentuk rumah tangga baru dalam keluarga, kemudian mereka memisahkan diri dari keluarga orang tuanya dengan membuat rumah baru. Sebahagian besar keluarga yang baru terbentuk masih tinggal bersama orang tuanya untuk mengelola tanah bersama-sama. Tanda-tanda had kepemilikan tanah antar penduduk di hutan ialah berupa pokok-pokok, sungai kecil, batu atau tanda alam yang lain.
Kesan penerapan ladang berpindah oleh masyarakat dayak dipulau borneo sudah lama diperdebatkan oleh pelbagai kalangan. Ladang berpindah dianggap sebagai penyebab kerosakan hutan dan menimbulkan kebakaran hutan di pulau Borneo  Pernyataan tersebut sering kali dibantah oleh peneliti dari kalangan masyarakat dayak . Sistem perladangan berpindah dengan sistem siklus (gilir balik) bukan penyebab utama kerosakan hutan di Borneo. Kerana sistem perladangan ini memberakan tanah yang sudah diladangi agar menjadi hutan sekunder, sehingga kesuburannya pulih sebelum dikelola kembali. Pola pengurusan tanah dengan sistem gilir balik seperti ini memungkinkan untuk  mengelola tanah tertentu saja dan membiarkan tanah lainnya tetap hutan rimba. Sebaliknya penyebab kerosakan hutan utama di pulau Borneo adalah pembalakan hutan oleh syarikat kayu dan pembukaan hutan untuk penanaman kelapa sawit. Huraian tentang kerosakan hutan oleh kedua-dua faktor itu akan dikemukakan pada artikel selanjutnya.
            Pertumbuhan populasi masyarakat dayak akan meningkatkan keperluan tanah untuk aktiviti perladangan. Pada masa sekarang, pembukaan hutan primer untuk kepemilikan tapak perladangan hampir tidak mungkin dilakukan lagi oleh masyarakat dayak Desa. Hutan primer yang masih tersisa sebahagian besar hutan yang dijadikan kawasan konservasi dan hutan primer tanah basah (hutan paya) yang tidak memungkinkan untuk perladangan. Bagi kawasan kampung yang dimasuki syarikat kelapa sawit, sebahagian tanahnya tempat siklus perladangan berlaku, diserahkan kepada syarikat untuk ditanami tumbuhan kelapa sawit. Semakin luas tanah yang diserahkan setiap keluarga, maka semakin luas ladang kelapa sawit yang akan diterima keluarga tersebut. Hal itu, tentunya mengurangi tanah yang selama ini digunakan untuk menjaga keberlangsungan siklus ladang berpindah.
            Pertanian ladang berpindah umumnya dilakukan hanya untuk memenuhi keperluan makanan pokok seperti beras. Dengan peningkatan keperluan hidup dan pendidikan anak, memaksa masyarakat dayak Desa untuk mencari alternatif lain untuk menghasilkan wang. Oleh itu, banyak kawasan tempat siklus perladangan berlasung ditanami pokok getah oleh masyarakat.
            Pertambahan populasi masyarakat dayak, penyerahan tanah kepada syarikat kelapa sawit dan penanaman pokok getah di kawasan tempat siklus ladang berpindah telah mengurangi luas kepemilikan tanah untuk perladangan. Hal ini menyebabkan siklus perladangan semakin pendek. Sehingga tidak memungkinkan lagi masa bera yang cukup panjang untuk mengembalikan kesuburan tanah, sampai tanah tersebut diladangi kembali. Dengan kesuburan tanah yang berkurang maka akan menurunkan hasil tanaman padi yang diperolehi. Keadaan ini memberikan tekanan kepada hutan simpan di kawasan masyarakat berkenaan untuk dibuka sebagai tempat perladangan.

            Kegiatan ladang berpindah mempunyai sejarah panjang di Borneo. Sudah berabad-abad lamanya nenek moyang orang asli pulau Borneo iaitu bangsa Austronesia melakukan sistem perladangan ini. Begitu banyak aspek budaya seperti sastra lisan, bahasa pantang larang, kepercayaan, ritual yang berkaitan dengan aktiviti ladang berpindah. 

Saturday 10 May 2014

Kata Pengantar

Prof. James T. Collins

Sudah lama diketahui bahwa Pulau Kalimantan luar biasa kaya dengan berbagai jenis flora dan fauna. Lihat saja tulisan Alfred Wallace (1869), perintis evolusi yang pernah berkunjung di Sarawak dan meneliti biogeografinya pada awal abad kesembilan belas, maupun tulisan modern tentang keberagaman botani dan zoologi di Pulau Kalimantan, seperti yang dikumpulkan dalam buku MacKinnon dkk (1996). Namun, hanya pada awal abad ke-21 ini disadari dan dibuktikan bahwa diversitas biologis di Kalimantan sejajar dengan diversitas bahasa yang cukup tinggi juga di Kalimantan.  Artinya, selain warisan ekologi di Pulau Kalimantan, harus diperhitungkan warisan bahasa dan budayanya. Memang pada tahun 1999, Daniel Nettle menegaskan bahwa di pelosok dunia yang memperlihatkan diversitas biologis yang tertinggi justru di situ juga terdapat diversitas bahasa yang tertinggi. Maka, seharusnya penelitian tentang keberagaman ekologi dan lingkungan serta kelestarian tumbuhan harus ditambahkan dengan penelitian tentang diversitas bahasa dan dialek serta kelestarian bahasa dan tradisi sastra lisan.
            Sayangnya, di Indonesia, walaupun penelitian ekologi dan biologi berjalan secara intensif dengan dana yang mencukupi, namun penelitian bahasa daerah dan dialek lokal belum menerima dukungan yang wajar dan perhatian yang mendalam. Jadi, bukan saja penelitian ekologi dan penelitian linguistik tidak dijalankan bersamaan dan beriringan, tapi penelitian linguistik dan sastra lisan malah terpisah dan jauh ketinggalan. Buktinya, MacKinnon dkk (1996) dapat menerbitkan sebuah buku tebal tentang aspek lingkungan dan ekologi Pulau Kalimantan, tetapi belum ada buku yang setaraf dan seluas dengannya tentang bahasa di Pulau Kalimantan.
            Sukur, seorang putra Pulau Kalimantan sanggup berhadapan dengan masalah ini. Atas inisiatifnya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah maupun dari yayasan swasta atau badan asing, Dr. Herpanus melancarkan suatu proyek penelitian yang menggabungkan ilmu botani dengan ilmu linguistik dan ilmu budaya untuk membangun asas etnobotani dan etnolinguistik di Kalimantan Barat. Bukunya "Bahasa dan Etnobotani Suku Desa: Tantangan perubahan ekologi", melaporkan hasil penelitiannya di tengah komunitas Suku Desa, salah satu suku Dayak di Kalimantan Barat. Dengan memanfaatkan berbagai metode termasuk klasifikasi tumbuhan, partisipasi dan observasi etnografis serta statistik dan uji statistik, beliau menghasilkan gambaran yang kompleks tentang situasi etnolinguistik di pedalaman Kalimantan Barat.
            Studi ini mendeskripsikan pengetahuan tentang tumbuhan di kalangan Suku Desa, salah satu suku Dayak yang terbesar di provinsi Kalimantan Barat dengan penutur yang diperkirakan sekitar 40.000 orang. Data diperoleh penulis melalui observasi dan wawancara di sebuah kampung, Kampung Pagal I, dengan jumlah penduduk 221 orang sebagai sampel utama. Bidang pengetahuan tumbuhan yang diteliti ini juga dibatasi kepada 20 jenis tumbuhan famili Arecaceae.  Dengan membatasi studinya, baik dari segi sampel komunitas maupun tipe tumbuhan, Dr. Herpanus berhasil menampilkan analisis yang mendalam tentang hubungan perubahan ekologi dengan pengetahuan tradisional dan penggunaan bahasa.
            Ternyata di kampung Pagal I tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara penduduk pria dan wanita dalam hal pengetahuan tentang tumbuhan famili Arecaceae, baik dari segi penamaan maupun penggunaan 20 jenis Arecaceae yang disoroti.  Kenyataan ini mengherankan karena biasanya memang ada perbedaan pengetahuan yang menonjol antara petani pria dan wanita, memandangkan kerja yang mereka lakukan berbeda. Dengan pengertian yang tepat, Dr. Herpanus menununjukkan bahwa pada waktu ini di Kampung Pagal I kerja dan tugas di ladang padi (huma) sudah merata sesama semua petani. Tugas yang dulunya dibagi-bagikan sesuai gender sekarang diusahakan bersama. Kalau dulu kaum pria yang bertanggungjawab membuka hutan primer dengan menebang dan menebas pohon di rimba serta membakarnya, sekarang sudah tidak ada hutan primer lagi yang harus dibuka. Masuknya transmigran di wilayah tradisional Suku Desa di Pagal I dan kemudian pembukaan perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan hilangnya hutan primer dan juga hutan sekunder yang tua; kawasan tempat siklus ladang diserahkan kepada perusahaan kelapa sawit.Jadi pembagian tugas secara adat berdasarkan gender, seperti yang dilaporkandi Kalimantan oleh sarjana 15-25 tahun lalu (Lahajir 2001, Dove 1988), sudah tidak berlaku lagi di Pagal I karena menebas semak belukar (bukan hutan rimba) dapat diusahakan oleh pria dan juga wanita sehingga kesempatan mereka melihat dan mengenal tumbuhan sudah menjadi sama.
            Perubahan dalam praktek perladangan padi tidak hanya berdampak pada penamaan tumbuhan tetapi juga pada frekwensi penyelenggaraan adat tradisional yang berkaitan dengan perladangan. Perubahan sosial lain juga mempengaruhi pengetahuan tradisional. Misalnya, menurut hasil penelitan ini, terdapat perbedaan pengetahuan berdasarkan umur, dan perbedaan itu dibuktikan secara statistik. Menurut Dr. Herpanus, dengan adanya akses kepada pendidikan (rata-rata di lokasi yang jauh dari kampung sendiri) generasi muda sudah jarang terlibat dalam kerja perladangan padi, apalagi adat yang berhubungan dengan perladangan.
            Ilmu dan wawasan ekologis yang diperoleh oleh Suku Desa turun-temurun selama ratusan tahun sekarang terancam hilang. Begitu juga, semakin lama semakin sedikit pengetahuan tentang kosa kata tumbuhan maupun ritual yang menggunakan tumbuhan tersebut. Malah, diramalkan dalam studi ini bahwa perubahan lingkungan alam di Kalimantan akan mengakibatkan merosotnya jumlah penutur Bahasa Desa, dan juga berkurangnya kosa kata yang berkaitan dengan ritual dan sastra lisan. Buku ini menunjukkan bahwa perubahan ekologi membawa perubahan pada bahasa dan budaya. Kasus Pagal I ini bukan kasus yang jarang terjadi di Nusantara. Di seluruh Indonesia, urbanisasi, migrasi dan transmigrasi berjalan dengan cepat dan mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam komunikasi dan kesempatan mengakses media elektronik sampai warga mulai meninggalkan bahasa dan dialek lokal mereka.  Buku ini berhasil membukitkan ikatan antara ekologi biologis dengan ekologi linguistik. Mudah-mudahan banyak lagi sarjana Kalimantan menghadapi kompleksitas ini dan mendokumentasikan perubahan yang sedang terjadi.